Artikel berikut tidak bermaksud memicu konflik/ propaganda. Artikel ini dimaksudkan agar pembaca mengetahui asal muasal perayaan tahun baru dan sharing pengetahuan.
Tahun baru seluruh penjuru dunia pasti identik dengan tiupan terompet, pesta kembang api, hingar bingar pertunjukkan musik, pesta pora di hotel-hotel berbintang atau tempat wisata, hingga ucapan "Selamat Tahun Baru" atau "Happy New Year".
Tahun baru seluruh penjuru dunia pasti identik dengan tiupan terompet, pesta kembang api, hingar bingar pertunjukkan musik, pesta pora di hotel-hotel berbintang atau tempat wisata, hingga ucapan "Selamat Tahun Baru" atau "Happy New Year".
Tapi, tak
banyak yang mengetahui sejarah di balik perayaan tahun baru masehi ini.
Apa sebenarnya dasar penentuan perayaan tahun baru?
Perayaan
tahun baru merupakan yang tertua di antara hari-hari libur lainnya yang diakui
dunia internasional. Penelusuran awal mula perayaan tahun baru membawa kita ke
zaman Kerajaan Babilonia Kuno, sekitar 4.000 tahun lalu.
Sekitar
tahun 2.000 SM, Tahun Baru Babilonia mulai dirayakan bertepatan dengan
dimulainya Bulan Baru (New Moon) yang pertama. Bulan ini ditandai
dengan nampaknya bulan sabit yang pertama setelah peristiwa Vernal Equinox (hari pertama musim semi).
Awal musim
semi dianggap sebagai waktu yang logis untuk memulai sebuah tahun baru.
Pasalnya, saat itu adalah musim kelahiran kembali, musim menanam tanaman baru,
dan musim berbunga bagi tumbuhan.
Perayaan
Tahun Baru Babilonia ini, berlangsung selama sebelas hari. Masing-masing hari
memiliki bentuk perayaannya sendiri yang khas.
Belakangan,
Bangsa Romawi juga meneruskan tradisi Tahun Baru Bangsa Babilonia yang jatuh
tiap bulan Maret ini.
Salah satu
tradisi penting dari perayaan tahun baru adalah membuat resolusi. Tradisi ini
juga bermula dari Bangsa Babilonia Kuno.
Tahukah
Anda, apa resolusi tahun baru yang paling populer saat itu? Resolusi paling
umum dari orang-orang Babilonia Kuno adalah mengembalikan alat-alat pertanian
yang mereka pinjam.
Tapi pada
saat bersamaan, perubahan perhitungan kalender yang terjadi terus-menerus
sebagai akibat dari berganti-gantinya penguasa menyebabkan perhitungan kalender
Babilonia dan Romawi ini tidak sinkron lagi dengan matahari.
Untuk
menyelesaikan ketidakcocokan kalender ini, pada tahun 153 SM, Senat Romawi menetapkan
tanggal 1 Januari sebagai awal tahun baru. Meski begitu, kekisruhan kalender
tetap berlanjut.
Pada masa
Julius Caesar, tahun 46 SM menetapkan apa yang kemudian kita kenal sebagai
Kalender Julian. Kalender ini tetap menempatkan 1 Januari sebagai awal tahun
baru,
Agar
kalender ini benar-benar sinkron dengan matahari, Julius Caesar perlu mengubah
perhitungan tahun sebelumnya menjadi lebih panjang, yakni 445 hari. Padahal
normalnya hanya 365 hari.
Meski
begitu, pada abad-abad pertama Masehi, Bangsa Romawi tetap melanjutkan perayaan
tahun barunya pada bulan Maret, bukan 1 Januari,
Gereja, pada
saat itu mengutuk perayaan tahun baru bulan Maret maupun 1 Januaari karena
dianggap sebagai ritual pagan (penyembahan terhadap berhala).
Tapi ketika
Kristen kian berkembang, gereja awalnya memiliki pandangan religius sendiri
tentang beberapa tradisi pagan yang berlangsung di masyarakat, salah satunya
adalah perayaan tahun baru.
Bagi
beberapa denominasi tertentu di dalam Kristen, perayaan tahun baru dipandang sebagai
bagian dari memperingati peristiwa “penyunatan Kristus”.
Pada abad
pertengahan Masehi, gereja tetap dengan pendiriannya menolak perayaan tahun
baru. Baru pada 400 tahun belakanganlah, tiap 1 Januari dirayakan sebagai hari
libur oleh bangsa-bangsa Barat.
Jadi,
tanggal 1 Januari, yang dirayakan milyaran orang di seluruh dunia, tidak
memiliki dasar ilmiah, astronomi, atau agrikultural apapun, Tapi hanyalah
sebuah tradisi tanpa dasar yang kuat (arbitrer).
sumber : sabiil.co.id
:))
BalasHapusClick to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.